Membaca halaman pertama novel berlatar gunung Sinabung ini,pembaca disuguhkan sepucuk surat cinta berisi larik-larik romantis nan mampu menggetarkan hati. Pembuka yang manis. Sungguh menarik.
Adalah Atika, gadis manis dengan pesona luar biasa yang setelah tahu cintanya tak bertepuk, pil kecewa ia telan tanpa air. Lalu pergi menjadi seorang penyintas dan mengurusi korban letusan gunung Sinabung. Dari Sinabung ia banyak belajar, bahwa letusan, lahar, dan pengungsi yang kita sebut bencana adalah cara lain alam berbicara pada kita. Sudahkah kita bersyukur?
Ah, kita mesti muhasabah diri. Tak hanya pelajaran hidup, dari sinabung ia malah menemukan sosok pengganti Ibrahim. Lelaki yang dicintainya namun tak demikian dengan Ibrahim yang malah mencintai Alisya.
Kisah cinta segitiga yang terjadi antara Atika, Ibrahim, dan Alisya yang terbilang cukup rumit ini memang kerap sekali dialami remaja, namun penulis mencoba membalut nya dalam cara pandang berbeda. Penulis bercerita dengan bahasa rasa yang menggugah para pembacanya hingga menimbulkan aroma berbau nikmat ketika meneguk butiran-butiran hangat kata-katanya.
Tak sampai disitu, pada beberapa fragmen pembaca disuguhkan pada satu tokoh yang paling saya sukai. Ibu Ratih. Wanita berhati berhati malaikat yang dengan segala keikhlasan berbalut kasih sayang itu mampu merawat ketiga anak-anak yang sebenarnya tak lahir dari rahimnya. Ah, sungguh tokoh wanita berjiwa besar ini mampu membuat saya menitikkan bulir-bulir haru di pelupuk mata. Sejatinya ia malaikat diturunkan Tuhan kemudian menjelma menjadi wanita.
Membaca novel dengan tebal 109 halaman ini memberi banyak pengajaran bagi kita. Tentang hidup, cinta, dan mati. Tiga hal yang kadang banyak dari kita paham namun kurang memaknainya. Tentang hidup yang tak selamanya sesuai ingin kita namun harus tetap kuat dijalani. Tentang cinta yang malah membuat rengsa dan tak melulu berakhir indah. Lalu tentang mati yang sejatinya paling dekat manusia dan rahasia yang tak satupun bisa mencegahnya.
Tak sampai disitu, pada beberapa fragmen pembaca disuguhkan pada satu tokoh yang paling saya sukai. Ibu Ratih. Wanita berhati berhati malaikat yang dengan segala keikhlasan berbalut kasih sayang itu mampu merawat ketiga anak-anak yang sebenarnya tak lahir dari rahimnya. Ah, sungguh tokoh wanita berjiwa besar ini mampu membuat saya menitikkan bulir-bulir haru di pelupuk mata. Sejatinya ia malaikat diturunkan Tuhan kemudian menjelma menjadi wanita.
Membaca novel dengan tebal 109 halaman ini memberi banyak pengajaran bagi kita. Tentang hidup, cinta, dan mati. Tiga hal yang kadang banyak dari kita paham namun kurang memaknainya. Tentang hidup yang tak selamanya sesuai ingin kita namun harus tetap kuat dijalani. Tentang cinta yang malah membuat rengsa dan tak melulu berakhir indah. Lalu tentang mati yang sejatinya paling dekat manusia dan rahasia yang tak satupun bisa mencegahnya.
Alur campuran dengan latar kota hujan dan gunung Sinabung yang disajikan pada novel ini semakin menarik dan memikat sebab gunung Sinabung ini begitu dekat dengan kita warga Binjai. Orang Medan dan sekitarnya, siapa yang tak tahu gunung Sinabung? Gunung yang sudah memuntahkan abu vulkaniknya sejak 2010 lalu. Kekayaan dan ciri khas daerah yang mungkin akan atau sudah dilupakan juga akan kita temui dalam novel ini.
Membaca novel ini membuat saya tercenung, bahwa benar adanya "apa yang baik menurut kita belum tentu baik di mata Nya". Apa yang kita inginkan belum belum tentu suatu hal yang kita butuhkan atau bahkan hanya sebuah keinginan tanpa didasari niat memiliki yang tulus.
Seperti yang tertuang pada kutipan dialog antara dialog antara dr. Alin dan Atika,
" Aku meminta kau untuk tak menoleh kebelakang, fokuslah terhadap apa-apa yang sedang ada dihadapanmu bukan pada apa-apa yang kau tinggalkan. "
Kita boleh saja bersedih, namun tidaklah perlu berlarut-larut hingga menyiksa diri sendiri.
Banyak sekali kisah pengorbanan yang bisa kita petik hikmahnya setelah membacanya. Kisah Bang Ben dan dr. Alin juga sangat menggelitik. Perbedaan agama, adat, dan tradisi menjadi penghalangnya.
Lalu, bagaimana akhirnya kisah cinta segitiga Atika, Ibrahim, dan Alisya?
Mengapa Ibrahim lebih memilih Alisya yang secara fisik masih kurang,jauh dari sempurna?
Yang jelas novel ini mengandung bawang...
Kereeeeeen. .. Novel pertama. Bersetiingkan sinabung paska 10 tahun letusan pertama
BalasHapusIya nih.. .termehek-mehek bacanya.
BalasHapusMeleleh lah pokoke
BalasHapusMeleleh lah pokoke
BalasHapus