MEMELUK SEDIH, MERANGKUL SEPI, MEMAKNAI KEHILANGAN
Judul : Yorick
Penulis :
Kirana Kejora
Penerbit : PT Nevsky Prospekt Indonesia
Cetakan :
III, Oktober 2018
Halaman : 346
halaman
Harga : Rp 89.000
Membaca
novel ‘Yorick’ membuat saya terkenang pada masa sekolah menengah pertama yang
kalau diceritakan kebanyakan orang tidak percaya. Masa krisis moneter yang
terjadi pada waktu itu memang berimbas pada semua lini-lini kehidupan. Tak
terkecuali pada saya. Berjuang selama tiga tahun demi sekolah yang harus ditempuh
sekitar satu jam perjalanan dengan bus umum dan kondisi jalan yang pada waktu
itu masih parah membuat saya paham hidup memang harus diperjuangkan. Saya
seperti berkaca dan merasakan kembali atmosfer perjuangan pada waktu itu lewat
‘Yorick’. Hanya saja dengan situasi yang berbeda. Saya masih bersyukur memiliki
kedua orang tua dan keluarga yang begitu menyayangi. Sedangkan Yorick hanya
memiliki nenek yang sekaligus sebagai ayah,ibu,mentor, dan ‘mahaguru’ dengan
seribu pelajaran.
Lokalitas
dalam novel ‘Yorick’
Untuk memperkaya isi sebuah karya
sastra, pengarang biasanya mengangkat isu-isu lokalitas berupa
kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat. Tentunya hal ini menjadi
bagian dari sebuah cerita. Indonesia memiliki banyak sekali kearifan lokal yang
memang sangat pantas diangkat dan dijadikan ciri khas. Sebuah karya sastra yang baik biasanya
menyajikan kearifan lokal dari sebuah atau bahkan beberapa daerah. Berbicara lokalitas sebuah karya sastra
tentunya tak luput dari kebiasaan masyarakat yang selalu melakukan hal-hal
tertentu tapi tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita.
Mengambil setting di Situ Panjalu Cibungur, kampung yang terletak di bawah kaki
Gunung Sawal Jawa Barat. Penduduk sekitar yang
sumber mata pencahariannya dari bersawah. Kakinya begitu lincah menyusuri petak-petak sawah, terus berlari dan
mendadak sembunyi di balik pohon kelapa setelah tahu, didepannya terlihat
ibu-ibu yang baru selesai memanen padi (hlm.22). Dalam frase “ di depannya
terlihat ibu-ibu yang baru selesai memanen padi” kita bisa mengetahui bahwa
jiwa gotong royong masyarakat kampung Cibungur terlihat nyata. Atau contoh lain
: tak jarang ia tidur di pematang sawah,
sampai neneknya selesai mengatur aliran air untuk sawah kecil peninggalan sang
kakek. Bukankah ini merupakan kearifan lokal yang pantas diapresiasi?
Kemudian juga seringkali nek Encum memberikan wejangan-wejangan kepada Yorick
dalam bahasa Sunda. Hirup teh kudu
dimimitian ku du’a jeung ditutup ku rasa sukur. Yang berarti hidup harus
diawali dengan doa dan ditutup dengan rasa syukur (hlm.24). Beberapa istilah
dalam bahasa Sunda juga mewarnai cerita dalam novel ini. Seperti mbeler, kasep,kudu, atau tragedi naga hejo yang mungkin merupakan
mitos yang hidup di masyarakat namun ternyata hanya halusinasi Yorick.
Dalam bab ‘Pesan Sunatan’ juga
disajikan beberapa kearifan lokal berupa musik degung Sunda, atau beberapa
makanan yang mungkin sekarang ingin sekali dilestarikan kembali. Seroja, cireng, cilok, leupeut, dan surabi
oncom. Beberapa makanan khas Sunda ini
mungkin sudah tak asing lagi bagi kita yang memang bukan orang Sunda.
Tapi penulis mencoba mengangkat dan menyajikannya dalam sebuah bentuk
imajinatif yang mudah diingat masyarakat. Bukan tidak mungkin setelah membaca
novelnya kita jadi tahu bahwa makanan tersebut ternyata berasal dari Sunda.
Polemik batin
Modernisasi
Tokoh ‘Yorick’, yang meskipun anak
kampung. Yang kecilnya hanya berteman nenek dan ayamnya. Namun memiliki tekad
kuat. Memiliki pola pikir modern. Penulis menyajikan tokoh ‘Yorick’ dengan
karakter yang kuat. Lelaki yang masa kecil kesulitan lalu masa remajanya
menggelandang di jalanan tapi fight,
mampu mengatasi segala kesulitan hidup, mampu bersaing dengan segala
keterbatasannya. Lelaki yang ketika
kecil hanya seperti remah-remah rengginang atau seperti setitik buih di lautan.
Kini ketika dewasa bukan lagi remah-remah. Ia rengginang gurih renyah yang
mampu menembus pasar impor. Bukan hanya setitik buih di lautan namun mampu
menjadi ombak tinggi bagi para pesilancar. Begitulah tokoh utama disajikan
dengan sangat modern.
Sudut
Pandang Penulis
Penulis menyajikan sebuah novel yang begitu inspiratif sekaligus memotivasi para pembaca tentunya dalam kemasan imajinatif. Dalam hal ini penulis bertindak sebagai pengamat cerita. Tapi sepertinya ia juga masuk ke dalam jiwa Yorick. Penulis membawa pembaca ke alam imajinatif namun terasa begitu real. Kejadian-kejadian yang dialami Yorick membuat saya tersadar, bahwa memang hidup patut disyukuri seperti kata Nek Encum. Seringkali kita merasa menderita, namun sebenarnya masih ada lagi yang lebih menderita.
Novel yang terinspirasi dari kisah
nyata ini membuat kita enggan beranjak dan terus ingin menyelesaikan hingga
akhir bab. Bahkan ingin mengetahui siapa sebenarnya Yorick. Bagaimana ia bisa
melanjutkan hidup sebatang kara. Apa sebenarnya hal yang ia sesalkan
sepeninggal neneknya. Lalu, adakah romansa cinta dalam kehidupan asmara Yorick?
Siapakah yang akhirnya memenangkan hatinya? Bagaimana ia berproses menghadapi
asam garam hingga pahit getirnya hidup?
Bagaimana caranya ia harus dan melangitkan doa dan membumikan lara?
Siapa saja orang yang sangat berperan dalam hidupnya? Jawabannya ada di novel ‘Yorick’.
Mari memeluk sedih,merangkul sepi, memaknai
kehilangan. Novel ini sangat pantas dimiliki. Baca. Resapi. Maknai.
Bahwa ‘hidup’ patut diperjuangkan !!!
Wahhh... Novel yg menginspirasi 🩷
BalasHapusLebih tepatnya bisa memotivasi.
HapusJadi pengen baca nihh
BalasHapusYuk bincangkan di podcast bulanan Bengkel Literasi
Hapuswah, 2018 ya kak. semoga kalau ada kesempatan lihat buku ini, aku bakal baca sih.
BalasHapusIya nih,ada dirumah kalau mau baca hehe
Hapus