“Ayaaaaah……mainan
adek rusak ditarik kakak…” teriak si bungsu yang berkejaran sembari menangis
memegang mainan. “ Kakak jangan begitu dong sama adeknya, kembalikan mainan adeknya, Ayah sibuk ini” jawabku
sambil membolak-balik buku resep
masakan. Suasana rumah begitu tak terkendali.
“Ah…begitu repotnya mengurus rumah” gumamku dalam hati. Seketika aku menyeka peluh dan melihat ikan yang kugoreng menggosong dikuali. Suasana pagi yang tak kondusif ini hampir membuat kepalaku pecah.Sebulan sudah. Bulan…andaikan kau disini…
“Ah…begitu repotnya mengurus rumah” gumamku dalam hati. Seketika aku menyeka peluh dan melihat ikan yang kugoreng menggosong dikuali. Suasana pagi yang tak kondusif ini hampir membuat kepalaku pecah.Sebulan sudah. Bulan…andaikan kau disini…
Pertengahan
Maret 2018, 6 bulan lalu
“Tali sepatu adek terlilit ini
Bundaaa…ga bisa diikat…” rengek si bungsu. Dengan sigap Bulan membenahinya. “
Bunda, buku Bahasa Indonesia kakak mana?”.”Di laci putih nomor 3 dekat buku
Matematika.” Aku yang juga terburu-buru sarapan sambil memakai sepatuku.
Kukecup kening Namira dan Lala tak lupa Bulan, istriku sembari pamit berangkat kerja. Bekas tapak sepatuku membekas di lantai yang sedang dipelnya. Bulan hanya tersenyum. Aku berlalu tanpa merasa bersalah.
Kukecup kening Namira dan Lala tak lupa Bulan, istriku sembari pamit berangkat kerja. Bekas tapak sepatuku membekas di lantai yang sedang dipelnya. Bulan hanya tersenyum. Aku berlalu tanpa merasa bersalah.
Senja
hari, 20 Maret 2018
Kulaju kendaraan roda duaku secepat
mungkin. Mendung bergelayut, awan menggelap pertanda hujan ingin mengecup bumi.
Sekelebat bayangan wajah teman sejawat
dosen yang memintaku menggantikannya pada seminar akhir mahasiswa. Kaprodi yang
menuntutku segera menyelesaikan penelitian karya ilmiahku.
Mahasiswa yang dengan setia menunggu bimbingan skripsinya. Deadline sayembara cerpen tingkat nasional. Seketika didepan mataku menunggu dua gadis kecil dengan senyum sumringah di depan pintu rumahku.
“Ayah pulaaang…berlarian mereka mengejarku yang belum mematikan sepeda motor semi usang ini. Yang tujuh tahun menemaniku membawaku mengais rezeki dari kampus ke kampus. Ya, aku hanya dosen lepas. Tak jarang diundang dalam seminar-seminar.
Menggantikan tugas dosen senior yang bisa kapan saja berhalangan memberikan kuliah. Menghadiri berbagai seminar, menguji sidang akhir mahasiswa, akreditasi jurusan, hingga mengurus KRS mahasiswa.
Mahasiswa yang dengan setia menunggu bimbingan skripsinya. Deadline sayembara cerpen tingkat nasional. Seketika didepan mataku menunggu dua gadis kecil dengan senyum sumringah di depan pintu rumahku.
“Ayah pulaaang…berlarian mereka mengejarku yang belum mematikan sepeda motor semi usang ini. Yang tujuh tahun menemaniku membawaku mengais rezeki dari kampus ke kampus. Ya, aku hanya dosen lepas. Tak jarang diundang dalam seminar-seminar.
Menggantikan tugas dosen senior yang bisa kapan saja berhalangan memberikan kuliah. Menghadiri berbagai seminar, menguji sidang akhir mahasiswa, akreditasi jurusan, hingga mengurus KRS mahasiswa.
“Ayaaah,
kita keliling komplek yuk” rengek Lala si bungsu menarik bajuku. Kulihat wajahnya yang bulat
memohonku. Kutatap wajah kakaknya yang juga penuh harap. Kubuang pandanganku ke
arah pintu masuk rumahku. Bulan tersenyum memandangku.
Tak tega mendengar rengekan dua gadis cilik yang sedari tadi memohonku. “Ayah…” “Oke, siapa takut, adek di depan kakak di belakang ya”. Langsung kutancap gas. Bulan tersenyum lagi, terlihat dari spion kiriku. Barangkali ia ingin berkata, “masuk dulu,Ayah capek baru pulang”.
Tak tega mendengar rengekan dua gadis cilik yang sedari tadi memohonku. “Ayah…” “Oke, siapa takut, adek di depan kakak di belakang ya”. Langsung kutancap gas. Bulan tersenyum lagi, terlihat dari spion kiriku. Barangkali ia ingin berkata, “masuk dulu,Ayah capek baru pulang”.
Kuhentikan
laju motorku tepat di pertigaan sekitaran komplek. “Eh,ada tukang
siomay…kakak,adek mau ?” “Bunda bilang gak boleh jajan sembarangan Yah”
Terlanjur aku sudah berhenti tepat disebelah tukang siomay. “Bang,siomay satu
dibungkus ya?” Buat Bunda aja ya kalau kalian enggak mau” Mauuuuuu….” Sahut
mereka bersamaan.
“Tadi
Bunda buat es mambo loh Yah,tapi katanya besok baru bisa dimakan supaya beku
dulu” Emangnya es mambo itu harus beku ya Yah? Yang penting kan udah
dingin,udah enak. Gigi Adek ngilu kalau minum es beku keras kayak batu”
kata-kata ini keluar dari mulut mungil Lala. Aku tak berkomentar.
“Bunda buat baso goreng tadi, enak deh Yah. Makannya pake sambel.” Cerocosnya. “Adek ga tahan pake sambel, lidahnya pedih” sahut sang kakak. “Wah, enak sekali ya masakan Bunda, Ayah ditinggalin gak?” Enggaaaaak” derai tawa renyah ini yang kutunggu setiap harinya.
“Bunda buat baso goreng tadi, enak deh Yah. Makannya pake sambel.” Cerocosnya. “Adek ga tahan pake sambel, lidahnya pedih” sahut sang kakak. “Wah, enak sekali ya masakan Bunda, Ayah ditinggalin gak?” Enggaaaaak” derai tawa renyah ini yang kutunggu setiap harinya.
Kudapati
Bulan menyiapkan makan malam kami, dengan daster batik yang kubelikan di pasar
sepulang kerja. Tampak ia begitu tulus melayani kami sambil memegang perut buncitnya.
Wajah putihnya nampak begitu kelelahan namun senyumnya tetap terpancar. Ia yang sangat menghormatiku sebagai suaminya tak pernah sekalipun mengeluh. Walau lelah, bahkan tak jarang uang belanja yang kuberikan tak banyak. Tapi tetap ia memberi kami gizi yang cukup setiap harinya. Pancaran kebahagiaan, senyum kehangatan, ketenangan, dan rasa aman. Bukankah itu nikmat gizi luar biasa yang Allah berikan lewat Bulan? Aku tak henti mengucap syukur kepadaNya. Tetiba teringat sebuah hadis, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan?”
Wajah putihnya nampak begitu kelelahan namun senyumnya tetap terpancar. Ia yang sangat menghormatiku sebagai suaminya tak pernah sekalipun mengeluh. Walau lelah, bahkan tak jarang uang belanja yang kuberikan tak banyak. Tapi tetap ia memberi kami gizi yang cukup setiap harinya. Pancaran kebahagiaan, senyum kehangatan, ketenangan, dan rasa aman. Bukankah itu nikmat gizi luar biasa yang Allah berikan lewat Bulan? Aku tak henti mengucap syukur kepadaNya. Tetiba teringat sebuah hadis, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan?”
Kugenggam
tangannya erat sambil kuelus perutnya yang kian hari kian membesar. Buah cinta
kami. Yang diperkirakan lahir 3 bulan lagi. Bulan tertidur dalam pelukanku.
Meski kondisinya tak nyaman, ia tetap berusaha tenang sambil sesekali
bolak-balik kanan kiri.
Malam Kelam, Awal April
2018
Aku
menghentikan laju sepeda motorku dan berteduh di teras sebuah ruko. Hujan
mengguyur kota ini. Kulirik arloji kedap airku. Sudah pukul 20.27 WIB. Beberapa
orang juga terlihat sedang berteduh di tempat ini. Mereka terlihat kedinginan
menyilangkan kedua tangan di dada. Sama seperti aku. Seketika aku melamun dan teringat sepenggal
kisah masa laluku.
Agustus
2004. Pagi itu seperti biasanya. Kuintip mentari lalu kulambaikan tangan
padanya.
“Bang,
belok ke gerbang fakultas dong…udah terlambat pula ini” pintaku kepada supir
angkot yang kutumpangi. Supir angkot hanya bergeming. Dalam hatiku
“beloklah..beloklah…”. Angkot berhenti tapi tak sampai gerbang fakultasku.
Ah...tak mau lagi lah aku naik angkot ini,kutandai lah abang ini. Celetukku. Mungkin begitu juga dengan 2 orang temanku yang juga kecewa sepertiku. Kubayar ongkos dengan uang pas tanpa mengucap terima kasih. Setengah berlari aku menuju kelasku, berharap dosen belum masuk. Atau minimal sedang ke kamar kecil. Jadi aku bisa menyusup masuk.
Setengah ngos-ngosan aku akhirnya tiba tepat dipintu kelas yang setengah terbuka. Kuintip meja dosen. Celingak celinguk
. “Faiz….masuk,sini…” panggil seseorang dari bangku paling belakang. “sini kosong, masuk aja Bapak itu keluar tadi…” sedikit tergopoh aku duduk sambil menarik nafas panjang. “Selamaaat “dalam hatiku sambil mengelus dada.
Ah...tak mau lagi lah aku naik angkot ini,kutandai lah abang ini. Celetukku. Mungkin begitu juga dengan 2 orang temanku yang juga kecewa sepertiku. Kubayar ongkos dengan uang pas tanpa mengucap terima kasih. Setengah berlari aku menuju kelasku, berharap dosen belum masuk. Atau minimal sedang ke kamar kecil. Jadi aku bisa menyusup masuk.
Setengah ngos-ngosan aku akhirnya tiba tepat dipintu kelas yang setengah terbuka. Kuintip meja dosen. Celingak celinguk
. “Faiz….masuk,sini…” panggil seseorang dari bangku paling belakang. “sini kosong, masuk aja Bapak itu keluar tadi…” sedikit tergopoh aku duduk sambil menarik nafas panjang. “Selamaaat “dalam hatiku sambil mengelus dada.
“Tenang
aja Kau, jangan nampak kali baru datang.” Nasehat seorang teman padaku. Tiga
kali terlambat, ya ini kali ketiga. Aku langganan terlambat memang. Sebenarnya
aku malu sering menyusup begini. Tapi ya apa hendak dikata, Maklum jarak tempuh
rumahku dan kampus sekitar 1,5 jam. Itu juga kalau tidak kena macet. Naik angkot
pula. Bersyukur ada teman yang selalu menolong.
“ Besok-besok agak cepat Kau datang, tau sendirikan Bapak ini kekmana? Kalo ketahuan habis lah kau” aku lebih mengatakan itu nasehat ketimbang omelan (bahasa Medannya “merepet). Aci, ya namanya Aci. Gadis berdarah batak ini sudah tiga kali menyelamatkan “nyawaku”. Tutur katanya sedikit kasar,khas batak tapi baik hati dan lembut. Diam-diam sebenarnya aku menaruh hati padanya. Ah…karena mungkin ia baik. Selalu “menyelamatkanku”.
“ Besok-besok agak cepat Kau datang, tau sendirikan Bapak ini kekmana? Kalo ketahuan habis lah kau” aku lebih mengatakan itu nasehat ketimbang omelan (bahasa Medannya “merepet). Aci, ya namanya Aci. Gadis berdarah batak ini sudah tiga kali menyelamatkan “nyawaku”. Tutur katanya sedikit kasar,khas batak tapi baik hati dan lembut. Diam-diam sebenarnya aku menaruh hati padanya. Ah…karena mungkin ia baik. Selalu “menyelamatkanku”.
“Iz…Faiz…udah
siap tugas Pak James Kau? Kok melamun pula kau,lapar kau ? Belum sarapan? Yok
lah ke kantin.” “Enggaklah, aku bawa bontot (bekal)” jawabku. “Alaaaaa…paling
kau bawa telur rebus lagi, makan di kantin aja yok. Nanti kubayari teh manismu”
sergahnya bak emak-emak beranak 3 sambil menarik lengan bajuku.
Apa boleh buat. Berkali mencoba menolak tawaran ini. Berkali tak bisa kutolak. Maklum uangku hanya cukup untuk ongkos pulang dan membeli roti sepotong. Bahasa klisenya tak bisa menampik karena alasan ekonomi. Klise ya. Seperti masyarakat kini yang pasrah pada pemerintah asal perut terisi. Tak peduli apa maksud dan visi sang pemberi. Kuyakin temanku ini tulus,aku bisa menilainya dari kesungguhannya.
Buktinya berkali aku terlambat berkali aku diselamatkannya. Sebenarnya aku malu, tapi gadis batak berhati lembut ini memang benar-benar baik bak dewi penyelamat yang tiba-tiba turun ke bumi menyelamatkanku dari bahaya dosen dan kelaparan.
Apa boleh buat. Berkali mencoba menolak tawaran ini. Berkali tak bisa kutolak. Maklum uangku hanya cukup untuk ongkos pulang dan membeli roti sepotong. Bahasa klisenya tak bisa menampik karena alasan ekonomi. Klise ya. Seperti masyarakat kini yang pasrah pada pemerintah asal perut terisi. Tak peduli apa maksud dan visi sang pemberi. Kuyakin temanku ini tulus,aku bisa menilainya dari kesungguhannya.
Buktinya berkali aku terlambat berkali aku diselamatkannya. Sebenarnya aku malu, tapi gadis batak berhati lembut ini memang benar-benar baik bak dewi penyelamat yang tiba-tiba turun ke bumi menyelamatkanku dari bahaya dosen dan kelaparan.
Sambil
makan kupandangi wajah khasnya. Mata bulat bersinar. Hidung yang tak begitu
mancung. Bibir tipis dengan tahi lalat kecil dibawah bibir. Jelas tergambar
kecerewetan. Sambil mengunyah ia melihatku yang curi pandang kepadanya.
“Ngapain kau menatapku sebegitunya, nanti jatuh cinta kau sama aku” gelak tawa berderai diantara kami. Beberapa mahasiswa lain juga menatap kami. Mungkin karena suara keras tanpa saringan Aci mengusik mereka. Aku tersipu tapi masih mampu menguasai gesture tubuhku. “Yang kau kira jatuh cinta itu gampang, preett”. Jawabku menolak kata hati.
“Ngapain kau menatapku sebegitunya, nanti jatuh cinta kau sama aku” gelak tawa berderai diantara kami. Beberapa mahasiswa lain juga menatap kami. Mungkin karena suara keras tanpa saringan Aci mengusik mereka. Aku tersipu tapi masih mampu menguasai gesture tubuhku. “Yang kau kira jatuh cinta itu gampang, preett”. Jawabku menolak kata hati.
Akhir
tahun 2004, ujian dimulai
Musim rambutan dan durian berganti menjadi musim ujian. Sebentar lagi libur. Dan yang terpenting dosen killer berganti. Kami bukan mahasiswa semester baru lagi. Dosen pun berganti. Semester ini sudah bisa pilih dosen dan mengatur jam kuliah yang pas untuk meminimalisir keterlambatanku. Tapi ya tetap saja, jiwa terlambatku ini sudah terpatri sejak SMP bahkan SD.
Tinggal saja bagaimana mengasahnya dengan bijak. Contohnya saja ya itu tadi, kalau terlambat kasih alasan tepat ciri khas mahasiswa cerdas atau paling sering ya menyusup kelas ketika dosen sedang keluar. Ini tak patut ditiru memang. Dengan alasan apapun.
“Faiz, nanti siang kau temani aku ke perpus ya, aku mau cari bahan untuk lomba karya tulis ilmiah, nanti kalau menang kutraktir lah kau.” Ok.jawabku singkat. “ Eh tapi abis itu kita ke kantor pos di audit ya.”Mau ngapain lagi kau? Kirim poto? Kirim kado? “ memanglah kau.
Wajahnya tampak cemburu. Sudah dua bulan ini aku menjalin hubungan dengan seorang wanita Solo lewat MIRC. Bermula dari keisengan “asl,plz. Kul/ker” berlanjut via surel dan sms. HPku berdering.
“Dimana?sudah makan?”. Eh senyum-senyum pula kau. Sms siapa?pasti gada pulsa kau kan. Mau pinjam HPku. Itu aja kerjamu. Kubalas smsnya dengan hp Aci. Ya lagi-lagi Aci menyelamatkanku, dari dosen,kelaparan,kali ini gengsi.
Selesai ngepos surat dan poto tak lupa sedikit kado. Aku lega. “ Kuingatkan sama kau ya Faiz, untuk apa lah kau sibuk-sibuk ngirim poto,kado sama orang yang sama sekali belum jumpa, kenal Cuma via MIRC,surel,sms.” Dunia nyata saja orang banyak tertipu,konon lagi di dunia maya.”
Komentarnya sambil ingin berargumen. Yah, namanya juga usaha,tak semua orang penipu, siapa tahu dia cantik,baik, dan kami cocok.” Jawabku tenang. “Kalau cocok kau bungkus lah” jawabnya tertawa renyah serenyah keripik pisang yang plastik pembungkusnya diikat karet gelan
Kadang-kadang dan terkadang sering perkataan Aci ada benarnya juga. Buat apa aku repot-repot begini dengan orang yang belum pernah berjumpa. Tapi tak apalah, pikirku mengalahkan logika.
Sepertinya dia orang yang baik kok. Siapa tahu berjodoh. Pikiran orang jatuh cinta memang mengalahkan logika. Itu makanya kata Agnes Monika.Cinta ini kadang-kadang tak ada logika. Jeng..jeng…sambil berjoget ala penyanyi dengan segudang prestasi internasional itu.
Kisah cinta mayaku berjalan semestinya, seperti layaknya pasangan LDR (Long Distance Relationship) atau hubungan jarak jauh,hubungan kami adem ayem. Saling berkirim kabar lewat sms. Kadang lewat surel. Aku pernah mengirim puisi kepadanya.
Sunyi itu bunyi yang sembunyi
Lalu haruskah kubersembunyi dibalik
jarak ini?
Jika kecepatan itu hasil pembagi
jarak dan waktu
Maka bolehkah kita enyahkan keduanya
agar cepat bertemu?
Membutuhkan waktu lama untuk bertemu
denganmu
Tapi aku tak ragu
Kita hanya berjarak
Faiz
Layaknya Romeo dan
Juliet, kami seperti tak terpisah oleh jarak. Tahun berlalu tanpa pernah
bertemu.
4 tahun berlalu, Senja kian temaram
To ; Mas Faiz
4
Mei 2008,
Assalamualaikum Mas…
Maaf tiba-tiba
mengirimu email ini. Sebelumnya terima kasih untuk semuanya. Dan maaf sekali
lagi, lebih baik kita akhiri saja cerita kita sampai disini ya Mas. Aku sudah
bertunangan dengan seseorang. Maaf atas segalanya hingga detik ini.
Wassalam,
Bulan
Seketika tubuhku seperti melayang diudara kemudian terhembus angin dan tersangkut dipohon thrumbesi. 4 tahun berlalu sia-sia.
“kau
kenapa Faiz, patah hati kau? Kayak orang linglung, kumat kau ya?” Iz…Faiz…cak
minum dulu kau” sergapnya sambil memberikan minuman kemasan dingin kepadaku.
Diputusinnya kau ? kan udah kubilang, kau sih cengkal” “Aciiiiiiii……” teriakku
lemas. Mataku berkaca tapi seketika bangkit mengingat mata kuliah hampir
selesai,judul proposal yang sudah disetujui. Tahun depan aku harus wisuda.
Waktu terus berlalu dengana terasa. Perlahan aku mulai bangkit. Tentu berkat dukungan Aci. Kami mulai dekat lebih dari sekedar teman seperti sebelumnya. Akhirnya aku menjalin kisah bersamanya. Aci.
“Biasa cinta,satu sa pinta...jang
terlalu mengekang rasa…karena kalau sa su bilang, sa takkan berpindah karena su
sayaaang…”
Lantunan lagu pengamen yang menghampiriku membuat kutersentak dari lamunanku 14 tahun lalu. Kurogoh kantong celanaku mengeluarkan 2 lembar lima ribuan. Kuberikan kepada pengamen itu. “Terimakasih Mas” ucapnya penuh takzim. Kulanjutkan perjalanan pulang. Menuju Bulan, Namira, dan Lala. Bulan, yang selama dulu hanya sebatas harapan kini dalam pelukan. Wanita lembut berjiwa hangat ini dari dulu selalu mampu menggetarkan hatiku. Meski jauh. Meski maya. Kini ia adalah realita.
Ia memang sudah menikah dengan seorang pria sebelumnya, tapi kini ia dalam pelukanku. Ia istriku. Gadis Solo yang selama 4 tahun masa kuliah mengisi relung-relung hatiku kala itu. Meski harus mengorbankan Aci yang kala itu juga memperjuangkanku, yang rela menentang kehendak orang tuanya demi aku. Tapi aku tetap memilihmu,Bulan. Yang kala itu remuk sepeninggal suamimu.
Aku rela menemuimu meski tiba malam hari ke kota asing yang sama sekali belum pernah kujejaki. Meminta cuti untuk sekadar bertemu denganmu. Menghiburmu. Kala itu,pertemuan yang pertama bagi kita. Secara langsung. Engkau menangis dipelukku.
Juni 2018
Memandangmu terbaring lemah di rumah sakit, sungguh remuk tulangku. Kupeluk Namira dan Lala sambil memandangimu,Bulan. Wajah pucatmu mengguratkan kesedihan akan putra kita yang terpaksa pergi meninggalkan kita. Aku tak bisa memilih kala dokter memberikan pilihan sulit itu. Antara kau atau bayi kita.
September 2018
Setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit, akhirnya Bulan kembali. Bayi laki-laki kami tak dapat tertolong. Sebulan tanpanya rumah ini bagai tak berpenghuni. Aku bagai raga tak bernyawa. Sungguh melelahkan menjadi sepertimu,Bulan. Bahkan kau masih bisa tersenyum dengan situasi seperti ini.
Aku pamit terburu-buru menuju kampus. Seperti biasa, lantai yang sudah dipel bulan meninggalkan jejak-jejak sepatuku. Dan tetap seperti biasa, Bulan hanya tersenyum.
Pagi ini aku diundang menjadi pembicara dalam seminar yang diadakan fakultas. Selesai mengisi acara, seorang mahasiswa memangilku dan berkata. “Pak, ada yang ingin bertemu, beliau menunggu di ruangan Bapak” “Iya, saya segera ke sana” jawabku tegas.
Sambil
membawa tas laptopku aku segera menuju ruanganku. Terkejut. “Aci”
CORY
MARLIA,S.Pd.
BINJAI,RABU 12 DESEMBER 2018
Selesai tepat pukul 21.58 WIB.
Terusss....??? What's next ???
BalasHapusPenasaran?? Hahahaha...enaknya diapakan ya Aci dan Faiz...😂
BalasHapus